Dalam Islam istilah kepemimpinan dikenal dengan kata Imamah, sedangkan
kata yang terkait dengan kepemimpinan dan berkonotasi pemimpin dalam
Islam ada tujuh macam, yaitu Khalifah, Malik, Wali, ‘Amir dan Ra’in,
Sultan, Rais, dan Ulil ‘amri.[1] Imam dan khalifah dua istilah yang
digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pemimpin. Kata imam diambil dari
kata amma-ya’ummu, yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Kata
khalifah berakar dari kata khalafa yang pada mulanya berarti “di
belakang.” Kata khalifah sering diartikan “pengganti” karena yang
menggatikan selalu berada di belakang, atau datang sesudah yang
digantikannya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa Al-Qur’an menggunakan
kedua istilah ini untuk menggambarkan ciri seorang pemimpin, ketika di
depan menjadi panutan, dan ketika di belakang mendorong, sekaligus
mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh yang dipimpinnya.[2] A.
DASAR-DASAR KEPEMIMPINAN ISLAM
Ada beberapa dasar kepemimpinan dalam Islam yang harus dijadikan landasan dalam berorganisasi, di antarnya ialah;
1) Tidak mengambil orang kafir atau orang yang tidak beriman sebagai
pemimpin bagi orang-orang muslim karena bagaimanapun akan mempengaruhi
terhadap kualitas keberagamaan rakyat yang dipimpinnya, sebagaimana
firman Allah dalam Al-Qur’an; Surat An-Nisaa: 144;
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mangambil orang-orang
kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mu’min,
apakah kamu ingin menjadikan hal itu sebagai alasan bagi Allah untuk
menimpakan siksaan yang nyata”.
2) Tidak mengangkat pemimpin dari orang-orang yang mempermainkan Agama
Islam, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah: 57;
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan orang-orang yang
memperolok-olokan dan mempermainkan agama kamu dari kaum yang diberi
Kitab sebelum kamu dan orang-orang kafir sebagai pemimpin, dan
berbaktilah kepada Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman.”
3) Pemimpin harus mempunyai keahlian di bidangnya, pemberian tugas atau
wewenang kepada yang tidak berkopenten akan mengakibatkan rusaknya
pekerjaan bahkan organisasi yang menaunginya. Sebagaimana sabda
Rasulullah saw;
“Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya”. (H. R. Bukhari dan Muslim ).[3]
4) Pemimpin harus bisa diterima (acceptable), mencintai dan dicintai
umatnya, mendoakan dan didoakan oleh umatnya. Dan apabila bawahan
melakukan kesalahan -meskipun berulang-ulang- tetap ditanggapi dengan
bijaksana, berhati dingin dan tidak dengan laknatan. Sebagaimana sabda
Rasulullah saw:
“Sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai
kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu.
Seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci
kamu, kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu.” ( H.R.
Muslim).
5) Pemimpin harus mengutamakan, membela dan mendahulukan kepentingan
umat, menegakkan keadilan, melaksanakan syari’at, berjuang menghilangkan
segala bentuk kemunkaran, kekufuran, kekacauan, dan fitnah,
sebagaimana Firman Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, Surat Al-Maidah: 8:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan jangalah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih
dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dari hasil penelaahan para pakar yang dirangkum dari Al-Qur’an dan
Hadits, dikeketemukan ada empat sifat yang harus dipenuhi oleh para
Nabi, yang pada hakekatnya adalah pemimpin ummatnya, yaitu; (1)
Al-Shidq, yakni kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap serta
berjuang melaksanakan tugasnya. (2) Al-Amanah, atau kepercayaan yang
menjadikan dia memelihara sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepadanya,
baik dari Allah maupun dari orang-orang yang dipimpinnya, sehingga
tercipta rasa aman bagi semua pihak. (3) Al-Fathanah, yaitu kecerdasan
yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang
muncul seketika sekalipun. (4) At-Tabligh, yaitu penyampaian yang jujur
dan bertanggung jawab, atau dapat diistilahkan dengan keterbukaan.[4]
Dari empat sifat yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits tersebut para
ulama (Imam Ghazali dkk) memaparkannya lagi sehingga menjadi dua
struktur kriteria yang harus dimiliki pemimpin agar bawahannya taat
tanpa kekerasan dan penuh dengan tanggung jawab: (1)Struktur maqam
(derajat), dan (2) Struktur Ahwal (keadaan). Berikut penjelasannya:
A.1. Struktur Maqomat (derajat)
1. Taubah: Penyesalan diri terhadap segala perilaku jahat yang telah
dilakukan di masa lalu (upaya mengosongkan diri dari segala tindakan yg
tidak baik dan mengisinya dengan yg baik).
Dalam hal kepemimpinan, hal ini disebut dengan retrospeksi. Pemimpin
meminta kepada bawahannya untuk memberikan input sebanyak-banyaknya,
karena bisa jadi seorang bawahan yang melakukan kesalahan berulang-ulang
adalah kesalahan pemimpin juga, mungkin kurangnya pelatihan, atau
kurang jelasnya bahasa dan intruksi pimpinan terhadap bawahan.
2. Wara: Meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau belum jelas hukumnya (syubhat).
Dalam hal kepemimpinan, hal ini dipraktekkan dengan sifat pemimpin yang
menjauhi sifat buruk prasangka (Su’u Zhann). Adakalanya maksud bawahan
melakukan hal tersebut adalah untuk menyenangkan hati pimpinan, akan
tetapi karena keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dia punya maka dia
berbuat sesuatu tidak pada koridornya.
3. Zuhud: Kosongnya tangan dari kemilikan dan kosongnya hati dari pencarian.
Dalam hal kepemimpinan, hal ini diterjemahkan dengan tidak mencari
kesalahan bawahannya. Yang dicari adalah problem solving yang tepat
untuk mengatasinya.
4. Faqr: Pengakuan diri tidak mempunyai apa-apa segala sesuatu milik Allah bahkan dirinyapun milik Allah
Dalam hal kepemimpinan, pemimpin diwajibkan untuk merendahkan hatinya
di seluruh bawahannya. Adalah segala sesuatunya berasal dari Allah dan
atas kehendak-Nya pula segala sesuatu itu terjadi.
5. Shabr: memilih untuk melakukan perintah Agama ketika datang desakan nafsu.
Pemimpin muslim yang melihat bawahannya melakukan kesalahan
berulang-ulang tidaklah emosi dan penuh cinta serta kasih sayang ibarat
ayah yang menasehati anaknya dikala melakukan kesalahan berulang-ulang
dihadapi dengan kesabaran. Karena bersabar dengan bawahan lama lebih
baik dari pada mencari bawahan baru yang belum tentu lebih baik dan
berpengalaman.
6. Tawakkal : Menyerahkan dengan sepenuhnya tidak ada keraguan dan kemasygulan tentang apapun yang menjadi keputusan Allah
Pemimpin setelah ikhtiar melakukan hal nomor 1 sampai 5 terhadap
pegawainya maka wajiblah ia bertawakal, artinya diserahkan sepenuhnya
kepada Allah (tentunya dengan pengawasan pemimpin) segala permasalahan
bawahan yang bermasalah tersebut dengan diberikan perjanjian (Surat
Peringatan dll)
7. Ridla: Kondisi kejiwaan yang senantiasa menerima dengan lapang dada
atas segala karunia yang diberikan atau bala yang ditimpakan kepadanya
Pemimpin harus Ridha (rela) dengan keputusan Allah tentang pegawai
tersebut, apakah dia bisa berubah atau tidak dari kesalahannya, apabila
dia bisa berubah maka pemimpin mendapat dua pahala, pahala pertama dari
usahanya (taubah, wara’, zuhud, faqr, shabr, tawakkal, ridha) dan
pahala kedua adalah keberhasilannya mengubah sikap bawahannya tersebut.
Namun apabila bawahannya tidak bisa berubah maka pimpinanpun harus
siap atas ujian yang diberikan Allah dengan mem PHKnya (tentunya
setelah diberikan surat peringatan). PHK adalah jalan terakhir dan
tersulit yang harus dilakukan Pimpinan setelah melakukan
ikhtiar-ikhtiar sebelumnya.
A.2. Struktur Ahwal (keadaan)
1. Muraqabah: Kondisi kejiwaan yang sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada.
Artinya pemimpin haruslah memaksimalkan tugas supervisor yang menjadi
bawahannya untuk melihat apakah ada lubang yang harus ditambal pada
manajerialnya
2. Mahabbah (cinta): mengandung arti keteguhan dan kemantapan, menurut
Ibnu al-’Arabi “bertemunya dua kehendak Tuhan dan kehendak manusia.
Artinya pimpinan dalam menghadapi bawahannya haruslah dipenuhi dnegan
cinta dan kasih sayang. Saya yakin, sebodoh dan secerobohnya bawahan
namun apabila dihadapi dengan cinta dan kasih sayang niscaya dia akan
berubah.
3. Khauf (takut): Takut terhadap kejadian yang akan datang yaitu
datangnya sesuatu yang dibenci dan sirnanya sesuatu yang dicintai.
Pimpinanpun harus takut salah (tidak ceroboh) dalam mengahadapi bawahan
dan dalam mengambil keputusan, karena sekali pemimpin salah mengambil
keputusan maka sangat fatal akibatnya.
4. Raja(harapan): keterkaitan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang.
Pimpinan dalam menghadapi bawahannya haruslah mempunyai harapan yang
positif, jangan karena dia telah berapa kali melakukan kesalahan lantas
pimpinan mencapnya sebagai ceroboh sehingga tidak memberikan
kepercayaan sedikitpun padanya.
5. Syauq (rindu): luapan perasaan seorang individu yang mengaharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dicintai.
Artinya seorang pemimpin haruslah ada rasa kangen terhadap bawahannya
yang dengan ikhlas membantunya selama ini, hal ini bisa diungkapkan
pimpinan dengan memberikan hadiah-hadiah, THR, reward, bonus gaji
terhadap seluruh bawahannya, khususnya yang berprestasi.
6. Uns: kondisi kejiwaan di mana seseorang merasakan kedekatan dengan
Tuhan, seorang yang ada pada kondisi uns akan merasakan kebahagiaan,
kesenangan, kegembiraan serta sukacita yang meluap-luap.
Artinya, pimpinan haruslah mengerti psikologi bawahan, apa sebab dia
menjadi sukses dan gagal (mengulangi kesalahan). Apakah ada faktor
keluarga, keuangan atau keduniawian? Maka hal ini sangatlah mudah untuk
diatasi, yakni dengan adanya sedekah dari pimpinan yang dapat menarik
segala penyakit dan kesialan (Hadits Nabawi). Namun yang sulit adalah
apabila kegagalan bawahan berawal dari garis vertikal antara pegawai dan
Allah, seperti meninggalkan shalat, zakat, puasa, dan lainnya. Maka
adalah kewajiban pimpinan pula untuk memperhatikan psikologis ruhani
bawahan yang ada di bawah managerialnya. Seperti, diadakan I’tikaf
bersama pegawai dan pimpinan, shalat bersama pegawai dan pimpinan, buka
puasa bersama pegawai dan pimpinan, zakat bersama pegawai dan pimpinan
terhadap keluarga pegawai yang membutuhkan, hatta haji/umrah bersama
pegawai dan pimpinan.
7. Tuma’ninah: Keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal dapat mempengaruhinya.
Apabila nomor 6 (uns) dilaksanakan maka niscaya antara pimpinan dan
pegawai tidak ada dinding pemisah, dan tampaklah kebahagiaan,
kesenangan, kegembiraan serta sukacita yang meluap-luap dari para
pegawai yang berefek pada kinerja pegawai, dan tentunya akan menimbulkan
keteguhan dan ketentraman hati.
8. Musyahadah: kehadiran al-haqq dengan tanpa dibayangkan.
Apabila tahap/nomor 1 s/d 7 telah dilaksanakan niscaya pimpinan dan
pegawai akan merasa musyahadah (kehadiran Allah), dan ini akan tampak
dari kedisiplinan pimpinan dan pegawai dalam hal vertikal (hubungan
makhluk dengan Allah, seperti ibadah yang baik, dll) ataupun horizontal
(hubungan makhluk dengan makhluk, seperti berinteraksi sesama pekerja
dan pegawai dengan cara profesional dan proporsional)
9. Yaqin: merupakan perpaduan antara ‘ilm al-yaqin, ‘ain al-yaqin dan
haqq al-yaqin, yaitu kepercayaan yang kuat dan tak tergoyahkan tentang
kebenaran pengetahuan yang dimiliki.
Dan apabila tahap 1 s/d 8 telah terlewati maka akan timbul keyakinan
bahwasanya segala sesuatunya (jodoh, rizki dan maut) ada di tangan Allah
dan pastilah Allah akan memberikan yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya
yang saleh. Amin…..
Wallahu A’lam Bish Shawab
Foot Note
—————
[1] Abdurrahman, M., Dinamika Masyarakat Islam h. 25
[2] Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h. 47
[3] Al-Kasymiri, Faydh al-Bari Syarh al-Bukhari, vol. I, h, 232. Dan
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, vol. I, h. 103 dan vol. XX, h. 149.
[4] Shihab., Loc.Cit.,h. 47-48
BIBLIOGRAFI
————-
Abdurrahman, M., Dinamika Masyarakat Islam (dalam wawasan fikih), Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Al-Kasymiri, Faydh al-Bari Syarh al-Bukhari, Beirut: Maktabah Misykah al-Islamiyah, t.t.
Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah Al-Ja’fi Abu ‘Abdillah
al-Bukhari,Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar el-Qalam, 1987 M
Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2000.